tinggi menjulang
ponduk berdiri
di tengah dan bibir sungai
sampan melintang dipenuhi rindu dan kenangan
atap daun melindungi dari gigilan malam dan hujan
bara di ujung kayu membuat perut tak kegetiran
toman, lais, udang, duduk manis
terpanggang
menunggu mulut melahap
hingga malam gelap pekat
pagi mendayung sore berenang
cekikian burung kian lantang
di ujung dahan-dahan kalakap
kicuan rindu kian tersingkap
hulu dan hilir
ikan nyaring memanggil
dayung diayun
sampan dituntun
tajur diatur
jaring diukur
ikan berbaris
menelan umpan yang manis
***
itu dulu, adikku
saat manusia tak menanggalkan akal sehat
dayung-dayung belum patah
sampan-sampan belum pecah
jala ikan belum menjadi sampah
tangkai pancing belum meninggalkan kail
dan lengan manusia belum menjadi jail
kini
genangan sungai sudah menjadi ombak kemiskian
akar tuba melilit leher-leher ikan
pohon-pohon tertunduk lesu dan bisu
kera-kera marah; menggerutu
dari hulu sungai teriak menyeruak
kiri dan kanan membawa tombak
bakul dipikul
hati memukul
memungut ikan yang sedang berpesta
menyedu air dari akar tuba
ikan-ikan sempoyongan
siangkak merangkak ketakutan
"Wah! rezeki hari ini luar biasa. Terima kasih SUNGAI!"
Adikku,
nikmatilah sungai genduang kita sekarang dengan mata telanjang
hiruplah kepulan asap pabrik
yang sengaja berak di sungai ini
Jangan sesali
jika tak bisa memancing rindu dan kenangan,
karena
kau masih bisa membangun ponduk-ponduk baru di dalam kepala dan hati manusia.
Muli Albana
2021
0 Komentar