Menambang Emas di Kantin Kampus

Drs. Elwahyudi Panggabean, M. H.
Direktur Pekanbaru Journalist Center

Oleh: Wahyudi El Panggabean

Ngobrol “kedai kopi” yang merasuk keseharianku 25 tahun terakhir, terbawa juga ke dunia akademik. Jeda mengajar di sela antar perkuliahan, menjadi pengisi obrolan di kantin kampus.

Kedai Kopi bermakna “lapo” alias lapangan politik, kantin kampus lebih mengasyikkan sebagai medium pengamat perilaku. Gosip seputar manusia intelek, tak melulu kerumitan dunia ilmiah. Kekhusukan telaah literatur biarlah jadi urusan perpustakaan yang selalu sepi.

Kantin, seyogianya penyaji konsumsi perut, ternyata mulai bergeser peran. Bagi komunitas mahasiswa, kantin bisa berfungsi unik: mimbar bebas dan sarana epektif berkomunikasi dengan dosen (pembimbing). Di kantin teramati pamer/ekspresi model-model alat digital terkini, komentar dan analisis sepakbola Eropa, puja-puji, cemeeh hingga bisik-bisik tentang sosok: dosen & mahasiswa.

Buat para pemburu gelar sarjana, kantin penyederhana birokrasi akademik, mencuri waktu dosen untuk bimbingan skripsi. Mereka “mengintip” celah kesibukan para dosen berpikir praktis. Yang menggugah inspirasi dari pojok kantin. Bagi segelintir dosen, meja sederhana di kantin lebih rileks ketimbang meja fakultas di ruangan sejuk. Kantin menjadi sarana proses belajar-mengajar, juga.

Di kantin aku memberi “kuliah” & memotivasi mahahsiswa dan alumni yang masih rajin berkunjung. Kusempatkan juga mencuri ilmu-informasi dari teman para dosen/pakar di sela makan siang mereka. “Menambang” emas dari pikiran manusia, jauh lebih praktis dari pada menambang emas secara liar dari perut bumi di kampungku. Aku selalu tertarik “mengorek” strategi proses perjalanan panjang menimba ilmu.

Seorang dosen senior, peraih gelar doktor kebahasaan dari negeri seberang menyajikan strategi cerdas dan kreatif menimba ilmu hingga jenjang doktor. Dia menganut cara belajar teori burung terbang.”Jika kita punya tekad yang kuat, Tuhan akan membimbing kita pada tujuan,” katanya.

Long mach empiris seekor burung akan menjadikan pepohonan sarana istirahat, sekaligus sarana hidup di ranting-rantingnya. Pagi berangkat dari sarang dengan perut kosong. Perjalanan udara yang melelahkan seharian mengantarnya pulang ke sarang sore harinya seraya menghidupi anak-anaknya.

Seekor burung kata si Doktor hanya mempertontonkan strategi pendidikan buat anak-anaknya yang esok pagi harus belajar terbang. si Anak harus menempuh pengalaman getir. Lebih dulu terjatuh dari sarangnya, baru kemudian berjuang dan belajar di alam bebas.Tidak ada lagi bimbingan khusus….

Di internet, kutemukan kisah mirip teori burung terbang dari petulang terbesar sepanjang sejarah ummat manusia di abad -13. Ibnu Batuta seorang sarjana Hukum Islam dari Maroko mengalahkan rekor spektakuler Christoper Colombus sebagai penjelajah ulung. Ibnu Batuta, dalam kurun 30 tahun petualangnnya menempuh tidak kurang dari 120 ribu km meliputi: Asia, Amerika, Eropa dan Afrika.

Prestasi gemilang Batuta yang sempat diragukan kalangan ilmuwan Eropa itu (terakhir jusru buku tentang biografinya diterbitkan di Jerman dan Prancis) dia tempuh bagai strategi burung terbang dengan tingkat istiqomah tinggi terhadap kekuasaan Allah. Bagi seekor burung, di mana ada pohon di situ ada kehidupan.

Bagi Batuta, yang diakhir karirnya diangkat sebagai hakim di Maroko, komunitas masyarakat di manapun adalah tempat belajar-mengajar dan hidup. “Di mana kau bertemu seorang manusia, di sana ada kesemparan untuk kebaikan hati,” kata Seneca.

Agaknya, kisah Batuta menginspirasi Asrul sani dalam filmnya; “Titian Serambut Dibelah Tujuh”. Dalam film yang pemeran utamanya L. Manik ini, dikisahkan seorang ustad keliling yang bertulang ke pelosok-pelosok desa dalam mengabdikan dakwah dan syi’ar agama.

“Saya akan terus berjalan ke desa mana saja… Jika saya bertemu guru saya akan belajar. Jika tidak ada guru di desa itu, saya akan mengajar…” Ending film ini, sang Ustad dengan metode persuasinya berhasil menghentikan kemunafikan para tokoh masyarakat sekaligus membongkar politik kotor penguasa desa yang sejak lama menindas warganya. Pesan moral film ini: kedekatan sang Pendidik dengan alam kehidupan.

Alam takambang jadi guru. Kini, cekokan kurikulum pendidikan condong mengabaikan aspek kreativitas berikut sistem yang terkesan menjauhkan manusia dari alam. Kerinduan kita pada pola pendidikan Ustad Muhamamad Syafi’i di dengan sekolahnya yang berorientasi alam di Kayu tanam, Sumatera Barat atau pola pendidikan ala Rabinranath Tagore di India adalah kerinduan pada wajah lain aktivitas perburuan ilmu pengetahuan.

Kerinduan kita pada makna pendidikan hakiki, seyogianya merujuk pada kondisi yang mampu memberi ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jati dirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka dan tidak terbelenggu dalam suasana monoton dan menegangkan. (Juwono Soedarsono: 2008). “Kondisi rileks membuat Anda lebih tenang, lebih kuat dan lebih kreatif,” kata Psikolog Amerika, J. Libierman.

Aku tidak tahu apakah ungkapan itu bersentuhan dengan suasana kantin kampus. Tetapi, obrolan meja makan kedengarannya berkorelasi dengan Teori Kecerdasan ala Robert Cooper (The Other 90%):  “Kecerdasan tidak hanya terjadi di otak”.

Dia mengemukakan peran kecerdasan jantung dan kecerdasan perut di luar kecerdasan otak. Illustrasi teorinya: setiap orang mendapatkan pengalaman, konstruksi pengalaman itu tidak langsung masuk ke kepala. Justru lebih dulu ke syaraf usus dan jantung yang bekerja secara mandiri.

Jika kalangan psikologi kurang sependapat dengan Cooper, itu soal tradisi memercayai teori. Pengaruh Alfred Binet, arsitek kecerdasan via Tes IQ tentu menang pamor dengan teori Cooper. Meski, pada awalnya Binet– yang bekerja atas pesanan pemerintah Prancis–merancangTest IQ hanya untuk orang-orang berkebutuhan khusus. “Tes IQ rancangan saya, mohon tidak digunakan secara holistik. Ini bukan alat ukur buat umum,” kata Binet (Ken Robinson:2015). “Toh, keajaiban bisa muncul dimana-mana,” ujar Ustad Yusuf Mansyur.

Keajaiban inilah yang terjadi suatu siang di kantin KampusUniversitas Cornell, saat dua mahasiswa bertengkar dan berujung pada persitiwa lempar piring. Peristiwa ini, sebenarnya hal biasa-biasa saja. Apa sih istimewanya, piring kaca dilemparkan ke atas? Kita tinggal menunggu reaksinya: piring terpental ke lantai semen lantas pecah berkeping-keping, bukan? Tetapi, peristiwa biasa itu, ternyata berakhir diluar dugaan dan disaksikan orang yang luar biasa.

Adalah Richard Feynman, seorang Dosen Fisika universitas itu, salah seorang yang menyaksikan peristiwanya. Feynman, yang sangat dihormasti kalangan kampus karena multi talentanya, sebagai musisi jazz, pemain akrobat, pelukis dan sebagai ahli fisika. “Peristiwa lempar piring di kantin siang itu, adalah awal penemuan saya yang luar biasa untuk mendalami ilmu Elektrodinamika Kuantum,” kata Feynman dalam buku Do It With Passion.

Dikisahkannya, piring itu ternyata tidak jatuh kemudian retak dan pecah. Justru piring yang dilengkapi logo Cornellwarna biru itu, berputar-putar di lantai. Semua orang di kantin terheran dan tertawa. Tetapi Feynman melihat dari insting “fisika-nya”. Dia segera mengambil kertas tisu seraya menyoret-nyoret catatannya atas pertiswa itu dengan persamaan matematika untuk rotasi.

Masalahnya, putaran logo warna biru lebih cepat dua kali dari putaran piring. Di kampus ia mencoba mengutak-atik temuannya dengan persamaan putaran elektron Dirac. Butuh waktu lima tahun bagi Feynman hingga studinya mengantarnya pada supremasi elite. Tahun 1965 Feynman menerima Hadiah Nobel bidang Fisika.

Kemarin, jeda mengajar mata kuliah: Introduction to Journalist di Program Studi Bahasa Inggris, aku kembali dengan rutinitasku ke kantin kampus. Sepuluh meter, menjelang kantin aku dicegat dua mahasiswa “senior”. Senior dalam arti sesungguhnya, karena sudah berada di tebing D.O. alias drop-out. Kami kemudian “ngopi” di kantin.

Anehnya, kedua mahahsiswa ini bukan mau bertanya seputar ilmu jurnalis satu-satunya keahlianku. Yang seorang menumpahkan keresahannya dibayang-bayangi limit waktu kuliah. Seorang lagi merisaukan pekerjaan, kelak jika sudah diwisuda.

Tersirat ketidakmandirian dan kerisauan dari celotehnya. Mungkin teringat dengan pengalamannya di kampus 6 tahun terakhir yang kurang serius menjalani perkuliahan plus kebiasaan hidup menjauhi alam.

Aku lantas memainkan jurus pamungkas meredam kekhawatiran mereka. Aku memberi motivasi lewat cerita: teori burung terbang. Sayangnya, aku melihat respon yang dingin dan reaksi yang melenceng. Yang seorang memandang jauh ke alam bebas alias tak nyambung, seorang lagi tertawa terbahak-bahak saat berbicara soal burung. Mungkin dia menganggap teori itu sebagai lelucon murahan hingga reaksinya yang berlebihan saat tertawa mengakibatkan piring kopi berikut gelasnya terjatuh dari meja ke lantai.

Tetapi, lumayan juga. Peristiwanya beda-beda tipis dengan peristiwa piring jatuh di kantin Universitas Cornell tadi, yang menginspirasi seorang dosen fisika meraih Hadiah Nobel. Di kantin kampusku piring jatuh menginspirasi seorang dosen jurnalis agar berhenti minum kopi: Bajuku terpercik cairan kopi yang membuatku harus pulang ganti pakaian, untuk kembali mengajar….*

Reações:

Posting Komentar

0 Komentar