Sesuatu mengusik ditelingaku. Semakin lama semakin keras. Membuat tidurku tak lelap lagi. Suara mengaji H. Muammar menggema. membuka perlahan mata yang tadinya tertutup rapat. Sengaja ayah letakkan di dekat telinga kananku. Suara murottal Muammar diputar lewat tape dengan volume ful. Sebentar kulihat sekitar, masih gelap. Kugulung lagi selimut yang sudah jauh, hingga menutupi kaki dan separuh tubuhku.
Itu salah satu metode ayah untuk membangunkan anaknya untuk solat subuh. Jika itu tidak berhasil, Ia menggunakan metode yang kedua. Menutup hidung dan mulut, hingga tak bisa bernafas. Sontak aku terbangun karena kekurangan oksigen. Tapi, itu tidak berbahaya, Ia tahu ukuran lama dia melakukan itu. Metode itu selalu berhasil. Memaksaku untuk meninggalkan tempat tidur yang empuk, selimut yang lusuh serta bantal yang berbau anyir. Dengan tubuh yang oyong dan mata sipit, kuraba jalan menuju kamar mandi. Sesekali mengusap mata untuk menjelaskan pandangan.
Karena sangat dingin, kuguyur tubuh ala kadarnya. Sekedar menyegarkan tubuh dan mata. Mengambil air sembahyang dan melaksanakan solat subuh. Ayah lebih dulu selesai melaksanakan solat, Ia sudah bersiap untuk pergi ke ladang. Motor bebek di tambah dengan keranjang rotan, memuat beban cukup banyak. Cangkul, arit, parang, angkong, dodos, gancu, dan barang lainnya bertengger di dalam keranjang. Diikat karet benen dengan kuat, untuk memastikan barang tidak jatuh saat diperjalanan.
Kendaraan kami terpisah. Aku memakai motor sendiri. Motor yang dikredit selama 2 tahun. Aku hanya membawa pakaian di badan. Perlengkapan yang lain dan makanan sudah lengkap di motor ayah. Kami berencana pergi seharian keladang. Ladang yang baru ditanam. Satu tahun, baru tumbuh sedikit. Pucuknya paling yang terlihat, apa lagi tanah kami tanah rawa. Tanah asam yang sebenarnya tidak bagus untuk tumbuhan sawit. Tapi, jika di kasih pupuk delumit keasaman tanah akan netral, atau di campur dengan kapur. PH tanah akan normal, dan sawit akan tumbuh subur. Pengetahuan itu aku dapat dari bangku sekolah dan pengalaman dari sang Ayah. Ayah sering bercerita tentang bagaimana merawat kebun sawit kami. Dulu, kami dapat bantuan dari pemerintah atau yang sering di sebut sawit plasma. Kami mendapat tanah yang sama yaitu rawa. Jadi, ayah sudah berpengalamana tentang merawat sawit yang tumbuh di rawa.
"Kamu duluan" ujar ayah kepadaku.
Aku bergegas menyalakan mesin motor. Lalu berangkat menuju ladang kami yang berada di KKPA. Perlahan kami susuri jalan. Tidak bisa laju, jalan bergelombang. Membuat motor aku dan ayah sering mengerem mendadak dan mengganti pedal gigi motor. Kadang ayah menurunkan kaki sebelah, untuk melintasi jalan yang di genangi air. Seperti sungai. Hanya saja ini tidak besar. Sebesar ukuran jalan. Tidak dalam, cukup untuk menenggelamkan setengah dari ban motor. Hutan sawit membuat kelabu pagi semakin jelas. Tak ada tumbuhan lain. Semua tumbuhan sawit. Tumbuhan yang menghidupi masayaralat di situ pada umumnya.
Setengah perjalanan, kami memasuki daerah perkebunan Perusahaan. Semua rawa. Untuk mengurangi debit air, pihak perusahaan membuat parit-parit baru untuk mengalirkan air. Terkesan rakus memang. Di situ dulunya hutan. Semua pohon ditebang, diganti dengan sawit. Sawit yang mereka pikir bisa menggantikan fungsi hutan. Walupun, pikiran mereka itu salah besar.
Jalan berbatu, lebih bagus sedikit dari jalan sebelumnya. Ini PT, modalnya besar. Apapun akan dilakuan untuk menembus targetnya. Aku hanya melihat sekliling. Bergumam dalam hati. Ini lah manusia. Sangat rakus. Termasuk aku juga. Mengabiskan semua hutan demi kertas yang di tulis angka. Ayah mengklaksonku beberapa kali. Membuat aku sedikit terkejut. Aku melihat kebelakang.
"Cepat, jangan melamun saja" katanya sedikit berteriak
Hal terbsebut membuatku menarik gas motor agak lebih kencang. Menyudahi percakapanku dengan pohon-pohon sawit itu. Mereka menatapku begitu lesu. Seperti tak ingin hidup dan tumbuh. Kurus dan menguning. Seolah mengeluh terhadap air yang tergenang, tanah yang asam, serta tunggul-tunggul kayu yang hitam.
Sebentar kami sampai di ladang. Rumah kecil yang berada di gerumunan pohon sawit menyambut kami dengan hangat. Biasa orang melayu menyebutnya ponduk. Jika orang melayu berladang, biasanya membuat rumah kecil di tengah ladang dan tiangnya agak tinggi dengan tujuan menghindari gangguan binantang buas. Ponduk itu ayah buat sebelum ladang kami di tanami sawit. Tinggi tiangnya kurang lebih 1,5 M. lumayan tinggi untuk ukuran anak kecil.
Ayah bergegas menurunkan barang-barang yang ada di motor. Aku turut membantu. Merapikan barang, meletakan pada tempatnya. Barang makanan dimasukkan kedalam ponduk. Motor kami masukkan keruangan khusus di samping ponduk. Sengaja ayah buat demi keamanan dan bentuk tawakal kepada Allah Swt.
Selesai merapikan barang, kami memulai aktivitas merawat kebun. Dimulai dengan mengeluarkan sampan di gudang bawah ponduk. Sampan atau perahu di desain hanya untuk 2 orang. Jika lebih, akan tenggelam. Sawit kami rawa, di tengah kebun digunting oleh parit-parit kecil. Dalamnya sekitar dua meter begitu juga lebarnya. Cukup untuk jalan raya ponduk kami. Jika kemarau kami tidak menggunakan sampan tapi, mengandalkan kaki telanjang.
Semua peralatan kami masukan kedalam sampan. Parang, arit, air putih, makanan ringan, serta barang lainnya yang diperlukan turut menemani kami menahkodai sampan tersebut. Ayah di belakang aku di depan. Aku mulai mengayuh sampan ayah yang memegang kemudi. Sampan supirnya di belakang berbeda dengan mobil atau motor yang supirnya di depan. Dua tiga kayuhan, sampan bergerak perlahan. Ayah mengarahkan sesuai tujuan. Aku semangat mengayuh, kadang sampai masuk air di ujung sampan. Membuat Ayah menegurku. Gemercik air dari dayungku serta suara burung dipagi hari membentuk suara yang harmoni. Membuat telingaku nyaman mendengarnya. Lirik kanan kiri adalah kewajiban, untuk mengamati perkembangan pertumbuhan sawit. Rumput sudah mulai tinggi. Tumbuhan menjalar mulai memanjat dahan-dahan sawit. Sebagian lagi, pucuknya mulai digrogoti lintah dan tikus. Keadaan itu membuat ayah sedikit mengerutkan keningnya. Sedikit kecewa melihat keadaan itu. Tapi, tak mengapa, itu membuat semangat ayah bertambah untuk lebih giat lagi merawatnya.
"Liat Yah. Itu udah mau mati kayaknya. Pucuknya udah mau abis di makan tikus," kataku sambil menunjuk pohon sawit yang sekarat.
"Nanti kita beri air sabun cuci batang. Itu bukan tikus tapi lintah," ujar ayah memperbaiki persepsiku
"Ooo, kirain tikus," sambungku.
Kami meneruskan menyusuri parit. Sesekali ayah menebas rumput liar yang tumbuh menjalar di air. Supaya tak berkembang lebih banyak. Aku juga kadang menyabut rumput-rumput rawa yang tumbuh, biasa peternak sapi menjadikan rumput tersebut makanan sapi.
Dari kejauhan aku melihat sebuah pancing bekas. Lengkap dengan kail dan talinya. Langsung aku dekati untuk mengambilnya. Saat itu air dalam. Ikan gabus banyak akan timbul. Ini kesempatan besar dengan pancing itu, aku bisa menangkap ikan gabus. Lumayan untuk di panggang nanti siang.
Sontak ayah terkejut, melihat aku menghentikan perahu.
"Kenapa berhenti?" tanya ayah
Aku tak menghiraukan pertanyaanya. Aku langsung mengambil pancing bekas yang menjadi incaran ku tadi. Langsung ku masukan kedalam sampan. Ayah yang memperhatikan perbutanku, dia tak tinggal diam.
"Letakkan! Jangan di ambil! Kembalikan ke tempatnya lagi," suara ayah agak tinggi
"Emang kenapa? Ini kan tidak terpakai lagi," jawabku spontan
"Iya, tapi itu bukan punymu. Tak ada hak kamu untuk mengambilnya"
"Aku hanya mau meminjam yah, bukan mengambil. Kalau sudah selesai nanti ku letakkan lagi," sedikit kesal
"Sama saja. Sama siapa kamu mau meminjam? Di sini tak ada pemiliknya. Kamu menggunakan pancing itu untuk menangkap ikan, hasilnya bukan hak kita. Bagaimana kalau pemiliknya tidak mengizinkan kamu untuk memakainya. Sama saja nanti memakan ikan yang tidak halal. Itu mencuri," jelas ayah
"Sampai sejauh itu si yah pemikirannya. Ini kan cuma pancing bekas yang tak terpakai. Logika saja, ini tak ada pemiliknya. Tak ada yang peduli lagi kalau kita mau memakainya," aku sedikit protes
"Sudah. Cepat letakkan kembali!" Kali ini suara ayah tinggi dengan menampakkan ekspresi muka yang sedikit memerah
Mukaku mengkerut. Sangat kesal. Ini sangat tidak masuk akal. Dengan berat aku letakkan lagi pancing tadi. Kutancapkan ke tanah seperti semula. Aku mendayung sampan lagi. Perlahan bergerak. Sesaat Suasana sunyi. Tak ada interaksi dari kami berdua. Aku enggang berbicara, apa lagi memulai pembicaraan. Perasaan menggerutu terus membesar, jika mengingat kejadian tadi.
"Mau mendengar sebuah cerita?" tanya ayah tiba-tiba dalam kesenyapan tadi
Aku tak merespon
"Dulu ada seorang santri yang mondok di sebuah pesantren,"Ayah memulai ceritanya
Walaupun aku tampak kesal dan tak peduli, tapi aku mendengarkannya dengan baik.
"Ketika malam sedang tidur, dia bermimpi bertemu kiai yang menjadi gurunya dahulu. Kiai yang sekitar sebulan yang lalu meninggal dunia,"
Ku luruskan dudukku. Dayungku tak berhenti. Sepertinya ceritanya menarik. Aku lebih fokus mendengarkan.
"Ketika bertemu di alam mimpi, santri itu terkejut melihat keadaan kiai yang sedih. Sepertinya dia menderita. Santri itu bertanya mengapa dia bisa seperti itu. Padahal dia adalah seorang kiai yang rajin solat, puasa, zakat, besedakah, berbuat baik dengan sesama, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya," ayah terhenti sejenak
"Lanjutkan yah!," aku meminta
"Kiai itu menjawab 'benar saya dulu adalah kiai dan banyak berbuat kebaikan. Tapi, ada satu kesalahan yang membuat saya seperti ini'. 'Apa itu' santri lanjut bertanya. 'Dulu ketika saya diundang oleh warga untuk berceramah saya di hidangkan makanan yang banyak. Selesai acara, Saya makan dengan lahap menyantap nasi serta daging sapi yang di rendang serta makanan yang lainnya. Sesudah makan, para warga bertanya perkara agama yang tidak mereka ketahui. Saya menjawab dengan ramah. Singkat cerita, semua sudah selesai saya pulang. Di perjalanan, ada yang mengganjal terasa di mulut. Sepertinya daging yang terselip. Aku mencari tusuk gigi untuk membersihkannya. Seketika itu, aku sampai di depan rumah seseorang, yang pagar rumahnya terbuat dari bambu. Saya ambil sedikit bambu itu untuk membersihkan daging yang terselip itu'. 'Lantas, apa salahnya?' tanya si santri semkin penasaran. Lalu sang kiai menjawab. 'Nak, tusuk gigi tadi saya ambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Itu yang membuat saya sengsara di alam kubur ini. Gara-gara tusuk gigi yang kecil, aku menderita di alam barzah ini. Tolong sampaikan maaf ku padanya, kalau kamu bertemu dia' mohon sang kiai. 'Hanya masalah kecil seperti itu kiai. Kiai di siksa seperti ini. Bagaimana dengan orang yang membakar hutan untuk kepentingan dirinya, bagaiman dengan orang korupsi, yang mengambil hak orang lain secara sengaja,' . Kiai berkata ' ini pelajaran bagi kalian yang masih hidup nak,'. Seketika itu santri itu terbangun dari tidurnya karena mendengar suara azan subuh.
"Luar biasa yah, ceritanya," aku menanggapi cerita ayah
"Bukan hanya jalan cerita yang kita perhatikan, tapi apa amanat atau pelajaran yang harus kita ambil dari situ," ujar ayah
Interkasi kami mulai normal lagi. Kesal dan menggerutuku sudah menghilang.
"Iya yah. Itu pelajaran buat kita semua. Ternyata mengambil hak orang lain itu besar akibatnya. Sebesar tusuk gigi saja, di perhitungan Allah nantinya. Apa lagi tangkai pancing tadi, yang hendak ku ambil. Begitu juga orang-orang yang menebang hutan secara ilegal untuk kepentingan pribadi. Aku tak tau nasibku nanti di alam barzah seperti apa," tuturku.
"Iya, itu benar. Ayah melarang kamu mengambil pancig tadi karena hal itu. Ayah tak mau kamu sengasara nanti di sana," jelas ayah dengan senyum khasnya
Aku membalas senyumnya. Sekarang aku mengerti. Kejujuran ada hal yang paling penting untuk di jaga dalam hidup ini. Di manapun dan kapanpun, kita harus menjaga kejujuran.
Penulis: Muliono Ns
FB: Muliono
IG: Muliono21
0 Komentar