sore itu aku diajak untuk menikmati opium si kulit bundar aku, yang sudah lama tidak menikmatinya, tentu hipotalamus langsung meresponnya dengan cepat aku kejar waktu yang fana untuk menjemput pembungkus tubuh mengindari busur mata iblis kemudian aku memasuki lapangan semi hijau itu memulai langkah demi langkah menyapu pandangan mengatur nafas melemaskan otot-otot kaku mencairkan suasana beku dengan orang-orang yang dulunya senafas denganku suara toa tua mengiringi permainan usang ini wajah-wajah lama namun aku baru mengenalnya sore ini bola ke sana kemari kaki loncat-loncatan lisan saut-sautan hanya aku yang mengamati suasana hati mereka deru angin memeluk tubuh debu berterbangan melepasnya suasana senja semakin terasa mega merah hampir memenuhi langit semakin berlari membuat nafasku tersengal sesekali aku berpura memperbaiki tali sepatu untuk mengulang nafasku yang semakin uzur seketika semua dari keseblasanku tertunduk lesu mendengar pluit panjang 3 gol melesat ke gawang kami pertanda pertandingan berakhir bersalaman; saling bertukar hati permainanpun usai hingga gelapun jatuh di lapangan Monti Dubalang itu keletihan tak bisa disembunyikan letih zahir dan bathin apalagi letih desa Genduang yang semakin hari pupus ditelan waktu menua;berlalu
0 Komentar