pagi
mentari masih ada
berpaling sebentar dari gawaiku
mengobservasi kehidupan
melangkah
menyusuri
menciptakan jejak kehidupan
di rumah keduaku ini
dulu
aku pernah menanam bibit matoa yang masih bayi di sini
jumlahnya sebanyak jari genggamanku
kini, dua diantaranya sudah dipatahkan oleh orang yang tak berdosa
aku akan menunggu dua puluh tahun lagi
untuk menanam satu batang matoa
atau hari ini
aku menggantinya dengan pohon yang lain
...
sebenernya hari itu aku tak menangis
melihat batangnya tak berdaun
membungkuk meratapi
nasibnya yang telah usai
tapi
aku coba menyentuhnya
memberinya semangat
"hidup ini tak sekejam yang kau bayangkan; paling tidak kau sudah tumbuh sesaat, membuktikan kau ada"
angin bertiup
menerpa wajahku
saung yang biasa tempat kami bertengkar itu, tersenyum sumringah
mungkin, mereka setuju dengan perkataanku
atau
malah
mengejekku!
"Kalimat yang kau lontarkan, tak bermakna apa-apa; simpan saja di saku bajumu. Peluk erat, nanti menjelang tidur, kau ambil dan baca kembali. hingga mimpimu tak bermimpi"
seketika
pandanganku luput
mematung
memahami ucapanku sendiri
"mungkin kau benar, nasihat itu sebenarnya untuk hatiku sendiri"
aku pikir; sudahlah
berbalik badan
meniti jalan persis sama yang aku lukis tadi
perlahan
memastikan tapak sepatuku sama dengan yang sebelumnya
namun,
langit bergemuruh
daun-daun berterbangan
pasir menggulung
rintik-rintik hujan, menjatuhi sepatuku
hingga menghapus
jejak dan nasihatku
yang aku kumpulkan selama ini
Muliono hh
2019
2 Komentar
😞
BalasHapus😊
BalasHapus