"Senyummu terhadap saudaramu adalah sedekah" Hadis Nabi Saw.
Mendengar hadis yang dibaca oleh salah seorang ustaz tersebut, seorang motivator berkata
"Kalau kita punya hutang banyak, lalu disedekahin senyum, apakah itu menyelesaikan masalah?" Ucap seorang motivator
"Saya tanya kepada Anda, apakah Ananda bicara begitu dalam rangka untuk membantu lebih atau sekadar untuk merendahkan sunah Nabi SAW? Kalau Anda hendak merendahkan sunah Nabi SAW dalam bentuk senyum itu sedekah? Saya akan cerita kepada Anda, silahkan Anda nilai berpa harga senyum ini"
***
Saya memiliki seorang teman profesinya dokter. Dokter ini memiliki senyum khas dan tulus. Manis, menyenangkan, dan menenangkan. Pasien yang berkunjung merasa aman dan nyaman. Komuniaksinya teratur; jelas dan sederhana.
Jika dia membuka praktek, bisa sampai pukul 02.00 malam melayani pasien karena keramahan dan senyumnya yang tulus. Setiap pasien yang ingin diperiksa, harus mengisi biodata yang lengkap. Hobi, kesukaan, hal yang berkaitan dengan pasien, sehingga ketika dokter memeriksa, sang dokter akan berbicara tentang hal-hal yang dekat dengan pasien. Secara psikologis itu akan menenangkan dan memberi rasa nyaman pasien.
"Pasien selanjutnya," ujar petugas
Kemudian pasien masuk ke ruang dokter sambil memeluk erat sang dokter diiriingi dengan isak tangis haru.
"Loh kenpa mas? kok menangis? Mau periksa toh? (logat jawa). Sini-sini duduk dulu. Tenangkan diri. Sek, sek, ayo minum teh dulu. Duduk," ucap sang dokter lembut
Selang beberapa lama, barulah pasien tersebut melepaskan pelukan ke dokter. Dia duduk, dengan isak tangis haru yang tersisa.
"Kenapa mas nangis? Mas sakit apa. Mau periksa toh," tanya dokter lagi dengan ramah
"Saya tidak sakit dokter,"
"loh, tidak sakit? Bukannya ke sini mau periksa?"
"Tidak dokter. Saya ke sini mau mengucapkan terimakasih ke dokter,"
"Terimakasih tentang apa mas? Apa jasa saya ke mas? bukannya kita hari ini baru pertama kali bertemu?" Kali ini dokter bertanya agak terheran
"Begini dokter. 3 tahun yang lalu, saya mengalami musibah yang besar. Perusahaan saya bangkrut; terpaksa ditutup. Teman-teman menjauh semua. Anak dam istri meninggalkan saya. Tidak ada lagi makna dalam hidup saya dokter. Dalam fikiran saya, bagaimana cara mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tidak ada 1 orang pun di dunia ini yang peduli dengan saya," pasien itu berhenti bercerita sejenak mengusap air matanya
"Suatu ketika, saya berjalan menyusuri jalan. Mencari cara untuk mengakhiri hidup ini. Semua orang membeci dan tak peduli kepada saya. Itu yang selalu terngiang di kepala. Ketika di perjalanan, saya tidak sengaja berpapasan dengan jenengan (dokter). Lalu dokter melemparkan senyuman. Senyuman yang membuat perasaan saya berpindah ke suasana lain. Nyaman, tentram, lembut. Lalu dokter ucapkan salam. Spontan saya jawab salam tersebut. Lalu dokter berlalu di telan persimpangan jalan," mata pasien tersebut kembali berkaca-kaca
"Kejadian itu membuat fikiran saya tentang hidup berubah. Ternyata masih ada yang peduli dengan saya. Buktinya masih ada orang yang mau melemparkan senyum dan mengucapkan salam kepada seorang yang hina ini. Semenjak itu, saya termotivasi lagi untuk berusaha. Lalu saya rintis lagi perusahaan saya dari nol sampai sekarang. Alhamdulillah, selama kurang lebih 3 tahun perusahaan saya kembali lagi. Istri dan anak juga sudah kembali,"
Mendengar akhir cerita tersebut, sang dokter kembali melemparkan senyum. Angin berhembus dengan lembut, menerpa kedua wajah mereka. Saling bertatapan dan berbalas senyum. Kemudian berlalu
***
Sahabat pena, kira-kira berpakah harga senyuman dalam cerita tersebut?
Wallahua'lam
Dikutip dari ceramah ustaz Salim A. Fillah
Penulis: Muliono Hh
2021
0 Komentar