Angin malam menembus permukaan kulit seorang gadis mungil. Gadis itu sangat suka suasana malam. Baginya malam adalah waktu yang tepat untuk meluapkan kesedihannya. Kini ia duduk di bawah sinarnya bintang, bersimpuh pada bulan, tangannya memegang sebuah pena dan secarik kertas. Pena tersebut menari-nari di atas kertas, kertas yang tadinya kosong menjadi penuh akan sebuah kisah.
Suara bariton Ayahnya masih terngiang dipikirannya. Kata-kata Ibunya masih menggelayuti pikirannya. Entah sampai kapan hidupnya harus dituntut untuk selalu belajar. Ia lelah, ia juga manusia yang memiliki kelemahan. Ia juga ingin menjadi gadis SMA seperti biasa.
Gadis itu bernama Shisil. Gadis yang selalu dituntut untuk menjadi pintar agar keluarga mereka dipuji, agar perusahaan keluarganya menjadi semakin maju. Rayyan sang Ayah ingin perusahaannya maju dan anaknya selalu dipuji orang. Oleh karena itu, sang Ayah menuntutnya agar selalu belajar dan harus mendapat peringkat pertama di kelasnya.
...
Alarm berbunyi membangunkan seorang gadis dari alam bawah sadarnya. Shisil pun siap-siap berangkat sekolah. Setelah siap Shisil langsung turun kebawah untuk sarapan.
“Pokoknya kamu ga boleh dapat nilai 92 kebawah ya, awas kalo kamu dapat nilai segitu. Kamu taukan apa yang nanti bakal papa lakuin ke kamu,” ingat Rayyan kepada Shisil.
“Pa, Shisil itu baru turun loh pa, masa papa udah langsung bicarain nilai sih pa,” ucap Mela, kakaknya Shisil.
“Udah kamu diem aja Mel, kamu itu udah ga mau banggain papanya, malah ikut campur urusan adik kamu,” sahut Stella, mama Shisil.
“Kamu lihat tu Stel, anak kamu yang satu itu udah isi otaknya ga ada, pake ikut campur lagi,” kesal Rayyan.
Setelah lama berbincang-bincang, Shisil pun memilih untuk berangkat duluan kesekolah. Ia sudah sangat muak mendengar tuntutan orang tuanya. Mau membantah pun ia tidak bisa, karena Ayahnya punya segala cara untuk mengancam Shisil. Apalah daya Shisil, seorang anak yang dulunya polos dan bahagia karena merasa cukup akan kasih sayang keluarganya. Kini mengalami penderitaan, kurang akan kasih sayang keluarga.
...
Di sinilah Shisil sekarang, di perpustakaan sekolahnya. Sudah biasa Shisil pergi ke perpustakaan ketika istirahat guna untuk mendalami ilmu-ilmunya.Namun, kini ia tak seperti biasa, ia sedang menangis, matanya sembab, hidungnya merah. Ia yakin pasti sebentar lagi ia mimisan. Mimisan sudah sering terjadi pada Shisil. Ia tak tahu penyakit apa yang dia derita. Ia juga tak tahu apa penyebabnya.
“Loh shil, hidung lo kenapa, kok keluar darah. Lo gak papa kan,” Sahut Mitha, kawan Shisil yang selalu rajin pergi ke perpustakaan
“Ah, iya gue gapapa kok, gue dah sering ini mah. Paling ntar darahnya berhenti,” jawab Shisil sambil menahan sakit dikepalanya.
“Apa ga sebaiknya lo ke UKS aja. Ntar kalo kenapa-napa gimana,” saran Mitha yang sangat khawatir akan keadaan kawannya itu
“Gw gapapa kok” jawab Shisil
“Ya udah deh, tapi nanti pulang sekolah lo coba deh cek ke dokter. Mimisan itu ga bisa di anggap biasa loh,” suruh Mitha
“Iya deh iya,” jawab Shisil
...
“Kenapa bisa kamu dapat nilai 91, kamu mau bikin Papa malu ha?. Jawab Shisil Shania Junianatha,” Jika Ayahnya sudah memanggilnya dengan nama lengkap berarti Ayahnya sedang sangat marah pada anaknya itu
Kini Shisil hanya bisa menunduk, hal yang tadi ia tangisi di perpustakaan kini hal itu terjadi. Ayahnya sedang sangat marah saat mendapati nilai anaknya 91. Shisil tidak bisa menebak hukuman apalagi yang akan Ayahnya berikan. Terakhir kali ayahnya memukulnya kemudian di siramnya Shisil dengan air dingin. Setelah itu ayahnya menyuruhnya untuk tidur di teras rumahnya.
“Lihat tuh anak kamu stel, nilainya dapat 92 kebawah. Bikin aku malu aja,” adu Rayyan kepada stella
“Udah hukum aja pah. Kalau dibiarin dianya ga bakal jera,” Saran stella
“Apa yang harus kita lakuin, buat anak kamu yang satu ini,” Tanya Rayyan
“Sekarang kamu ikut mama,” Titah Stella menarik tangan Shisil.
Sedangkan Shisil hanya bisa pasrah tangannya ditarik kesana kemari. Mau lari pun ia tak mampu. Hingga sampailah Shisil di gudang belakang rumahnya. Gudang yang sudah sangat tak layak untuk dipakai. Saat sampai di dalam gudang ibunya langsung mengambil cutter kemudian digoreskannya kepipi mulus Shisil hingga mengeluarkan banyak darah. Kemudian di bagian keningnya.
“Kepala kamu ini, ga ada gunanya kalau kamu Cuma dapat nilai 91 dan hanya bisa bikin malu orang tua kamu,” Ucap Stella sambil tertawa sekaligus geram kepada anaknya itu. Tangannya bergerak telaten menyusuri kening anak bungsunya itu.
Setelah bermain dengan kening Shisil. Kini alAyahnya melanjutkannya dengan mengguyur Shisil dengan air dingin dan mendorongnya hingga Shisil terjatuh terduduk di lantai gudang tersebut. Tak lama kemudian cairan kental berwarna merah pekat keluar dari hidungnya. Kepala Shisil semakin berputar-putar, penglihatannya pun sudah mulai kabur, dan terakhir ia mendengar suara Ayah dan Ibunya yang mencaci Shisil dengan samar-samar.
Shisil ditinggalkan sendirian di dalam gudang yang tak layak dipakai itu sendirian. Shisil dikunci dalam keadaan pingsan dan penuh darah. Tak jauh dari gudang tersebut ada seorang gadis yang melihat kejadian itu
“Maafin kakak Shisil. Kakak ga bisa ngasih tau ke kamu tentang penyakit itu,” ucap seorang yang tak jauh dari sana
...
Kepala Shisil sangat pusing, ia sudah sadar dari pingsannya. Sekarang ia berada di kamarnya. Ia tak tahu mengapa ia bisa ada disini. Seingatnya terakhir kali ia berada di gudang.
“Eh, kamu udah sadar Shil,’ panggil seseorang membuyarkan Shisil dari lamunannya
“Kak Mella,” kaget Shisil
“Kamu pasti bingungkan kenapa kamu bisa ada disini,” Ucap Mella sedangkan Shisil hanya diam tidak mengangguk dan menggeleng
“Kakak udah lihat semuanya, kakak Cuma bisa nolongin kamu pas kamu dihukum. Tapi kakak ga bisa melarang Papa sama Mama untuk ngelakuin itu ke kamu. Maafin kakak ya, kakak ga bisa bantu kamu lebih,” lirih Mella
“Gapapa kak, aku kan anak yang kuat. Buktinya aku masih bisa bertahan sampai sekarang,” jawab Shisil sambil tersenyum kepada kakak kesayangannya itu yang juga dibalas senyuman dari Mella
“Kakak tau makna senyum itu shil. Itu hanya fake smile. Kamu memang anak yang kuat. Bahkan ketika kamu rapuh, kamu masih mau nutupin itu dengan senyum kamu yang jelas-jelas kakak tau maknanya,” Batin Mella sambil tersenyum kikuk
“Yaudah kalo gitu kakak ke kamar dulu ya, kamu tidur yang nyenyak ya,” Pamit Mella sambil mengusap kepala adik kesayangannya itu dengan penuh kasih sayang
Setelah kakaknya pergi dari hadapannya, kini Shisil pergi ke balkon kamarnya. Tempat dimana ia sering menenangkan diri. Shisil memang sudah terbiasa tak langsung tidur jika sudah malam. Ia selalu menyempatkan dirinya untuk pergi ke balkon kamarnya sambil membawa pena dan secarik kertas.
Lagi-lagi, ia menuliskan kisahnya disecarik kertas. Kisah tentang hidupnya yang tadinya secerah matahari menjadi sekelam langit malam. Kini ia hanya ditemani bulan dan bintang yang selalu menjadi tempat curhatnya. Kerudungnya menari kesana kemari sesuai irama angin. Air matanya berjatuhan sedikit demi sedikit. Bulan, bintang, kertas, dan pena yang menjadi saksi bisu kesedihannya kini, kemarin, esok, hingga kesedihannya berakhir.
‘’’
“Bu, itu si Shisil pingsan, sekarang dia ada di perpustakaan. Hidungnya mengeluarkan banyak darah bu,” Adu Lucy yang baru datang dari perpusatakaan dengan sangat panik.
“Apa? Cepat panggil petugas UKS suruh dia bawa Shisil ke UKS. Ibu akan telpon orang tuanya dulu,” ucap Bu Muthia kepada Lucy dan menyuruh Mitha untuk menemani Shisil di UKS
Tutt tutt tutt
“Loh kok ga diangkat sih” monolog Bu Muthia.
“Coba telpon pake telepon rumahnya aja bu,” usul salah satu siswi berbadan pendek
Bu Muthia pun langsung menelpon ke telepon rumahnya. Tak lama kemudian telepon pun diangkat. Bu Muthia pun menjelaskan tentang keadaan Shisil kepada lawan bicaranya. Terdengar jelas ditelinga Bu Muthia bahwa lawan bicaranya sangat panik.
...
“Dok, gimana keadaan adik saya dok,” tanya Mella ketika mendapat kabar bahwa adiknya pingsan dan mimisan.
“Leukimia dia semakin parah dan sudah memasuki stadium 4. Kemungkinan besar hidup pasien tidak lama lagi. Sekarang dia koma,” jelas sang dokter yang membuat Mella jatuh terduduk mendengar keadaan adiknya itu
Kini Mella duduk di balkon rumah sakit. Tangisnya pecah ketika melihat keadaan adiknya yang hampir sekarat. Sedangkan orang tuanya masih sibuk bekerja
“Kakak mohon bertahanlah Shil,” lirih Mella
...
Sudah 2 hari Shisil tak juga sadar dari koma nya. Orang tuanya masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Bahkan disaat Mella memberitahu penyakit yang diderita shisil, orang tuanya hanya berpikir kalo itu hanya akal-akalan kedua anaknya itu. Sampai sekarang hanya Mella lah yang menemani Shisil.
Tiba-tiba jari-jari Shisil bergerak. Shisil tersadar dari koma. Melihat itu Mella langsung memeluk adik kesayangannya itu.
“Shisil ini beneran kamu kan,” ucap Mella tak percaya
“Iya kak ini beneran aku,” jawab Shisil
“Tapi, aku disini Cuma sebentar kak” ucap Shisil yang langsung membuat senyum kakaknya memudar. Kening Mella berkerut, alisnya tertaut seolah meminta penjelasan tentang yang diomongi Shisil tadi
“Nanti kakak akan tahu sendiri. Intinya tolong bilangin ke mama papa makasih karena udah sayang sama aku, makasih udah cari uang susah payah untuk kebutuhan dan keinginaku dan makasih juga buat kakak udah bantu Shisil selama ini,” Ucap Shisil terbata-bata.
Detik selajutnya mata Shisil tertutup rapat, jantungnya berhenti berdetak. Mella pun langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Shisil. Tapi taqdir berkata lain. Kini Shisil telah tiada. Mella hanya bisa menangis karena harus kehilangan adiknya itu
...
“Mama minta maaf ya sayang gara-gara mama kamu pergi,” tangis mamanya pecah depan makam anaknya
“Papa juga minta maaf. Dulu kamu bahagia, hidup kamu penuh dengan kasih sayang. Tapi semenjak papa sukses papa malah nuntut kamu untuk selalu belajar Cuma demi perusahaan, Cuma demi uang, Cuma demi tahta. Maafin papa nak. Sampai kapanpun kamu tetap putri kecil papa,” tangis sang Ayah melihat kepergian putrinya
Aku dan malam itu sama
Sama-sama kelam
Sama-sama berawal dari sinar matahari
Yang kemudian berganti menjadi langit hitam
Aku dan bintang itu sama
Tak bisa memberi sinar yang cerah buat seluruh orang
Sama-sama selalu diabaikan
Hanya dianggap sebagai pelengkap di langit malam
Aku dan secarik kertas itu sama
Berawal dari warna putih polos hingga tergores pena
Penuh akan sebuah kisah
Kisah yang ditentukan oleh sipenulis
Taqdir dan pena itu sama
Sama-sama penentu skenario yang akan dibuat
Kertas tak akan tahu kisah apa yang akan ditulis sang pena
Begitu pula aku yang tak tahu jalan taqdirku
Kini malam kembali sepi tanpa aku
Bulan dan bintang tak akan mendengar tangisku lagi
Pena pun sudah berhenti menuliskan berbagai kisah di secarik kertas
Kertas pun sudah tak nangis lagi akan kisahku yang tergores pena
Biarlah bulan dan bintang yang menjadi saksi bisu
Akan kesedihan ku selama ini
Biarlah malam yang membungkus kesedihanku
Dan mengabadikannya dalam kesunyian
Shisil Shania Junianatha
27-09/2019
Penulis: Gezika (Siswa Kelas VIII SMPIT Bunayya Pekanbaru)
1 Komentar
Cerpen ini sangat bagus sampai saya menangis
BalasHapus